Rabu, 06 Juli 2011

MAKALAH KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-GHAZALI DAN IBN KHALDUN


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri , kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.  Dari sini maka salah satu ciri dari manusia yang berkualitas adalah manusia yang tangguh iman dan taqwanya serta memiliki akhlak yang mulia dan berpengetahuan luas.
Pendidikan, menurut Ahmad Marimba didefinisikan sebagai “bimbingan atau didikan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan anak didik, baik jasmani maupun rohani, menuju terbentuknya kepribadian yang utama”[1]. Sedangkan menurut Ahmad Tafsir, pendidikan diartikan dengan:
Pengembangan pribadi dalam semua aspeknya, dengan catatan bahwa yang dimaksud dengan “pengembangan pribadi” mencakup pendidikan oleh diri sendiri, lingkungan dan orang lain. Sedangkan kata “semua aspek” mencakup aspek jasmani, akal dan hati. Dengan demikian, tugas pendidikan bukan sekadar meningkatkan kecerdasan inteletual, tetapi juga mengembangkan seluruh aspek kepribadian anak didik.[2]

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah seluruh aktivitas atau upaya secara sadar yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik terhadap semua aspek perkembangan kepribadian, baik jasmani maupun rohani, secara formal. informal maupun non-formal yang berjalan terus-menerus untuk mencapai kebahagiaan dan nilai yang tinggi, baik nilai insaniyah maupun ilahiyah.
Selaras dengan hal di atas, dalam Islam sendiri terutama di dalam al-Qur' an, manusia merupakan salah satu kajian yang sangat unik yang banyak disebut antara lain dengan bani Adam, basyar, al-insan, an-nas dan lain-lain. Maka manusia mempunyai ciri-ciri yang salah satunya adalah manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi khalifah-Nya di bumi dengan memberinya akal pikiran dan qalbu serta berakhlak. Dalam hal ini, akhlak adalah ciri utama manusia dibandingkan dengan makhluk lain.
Berangkat dari permasalahan di atas, penulis ingin meneliti bagaimanakah konsep pendidikan islam menurut pemikiran Al-ghzali dan ibn khaldun,
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, dapat dikemukakan beberapa rumusan masalah makalah ini agar lebih terarah pada sasaran yang akan dikaji. Adapun rumusan masalah kajian makalah dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Biografi dan konsep pendidikan menurut al-ghazali
2.      Biografi dan konsep pendidikan menurut ibn khaldun
 
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi dan konsep pendidikan menurut Al-ghazali
1.      Biografi Al-ghazali
Al-Ghazali adalah seorang yang ada dalam literatur Islam yang telah diakui sebagai ulama’ sekaligus ilmuan. Walaupun oleh sebagian kaum filosof ia dikategorikam sebagai orang yang harus bertanggungjawab atas keengganan umat Islam untuk mempelajari filsafat dan disiplin ilmu pengetahuan lainnya diluar pembelajaran tasawuf, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ia adalah sang fenomenal di zamannya. Ia adalah tokoh yang sudah tidak diragukan lagi perannya dalam membangun tradisi keilmuan di dunia Islam. Kecerdasan pemikirannya telah membuat kagum banyak orang, bukan saja dari kalangan umat Islam bahkan juga para cendekiawan Barat.
Hasil karya ilmiahnya yang sangat banyak dan meliputi berbagai disiplin keilmuan menjadi bukti betapa produktifnya beliau ini. “Dia muncul pada abad 5 H sebagai ilmuan dari pemikir Islam yang mempunyai nama lengkap Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali”[3]. Tetapi ada juga yang mengatakan nama lengkapnya “Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad, karena kedudukannya yang tinggi dalam Islam, maka dia digelari dengan “Hujjatul Islam”.[4]
Sedangkan nama al-Ghazali sendiri terdapat perbedaan pendapat. Kadang-kadang diucapkan al-Ghazzali (dengan dua “z”) yang diambil dari kata Ghazzal yang berarti tukang pemintal wol. Sedangkan al- Ghazali dengan satu huruf “z” diambil dari kata Ghazalah, yaitu nama kampung kelahiran al-Ghazali. Sebutan terakhir ini banyak dipakai.[5]

Al-Ghazali adalah seorang tokoh fiqih dan sufi, bermadzab Syafi’i dan mengikuti firqah Asy’ariyah dalam berakidah. Ia dilahirkan pada tahun 450 H di kota Thus yang merupakan kota kedua di Khurasan setelah Naisabur. Ayahnya adalah seorang pemintal (pengrajin) wol yang hasilnya dijual sendiri di tokonya di Thus. Dengan kehidupannya yang sederhana itu, maka ayahnya tertarik pada kehidupan sufi. Pada saat ajalnya sudah dekat, dia berwasiat kepada seorang sufi yang juga teman karib ayahnya untuk memelihara kedua anaknya yang masih kecil-kecil, yaitu Muhammad dan Ahmad serta menyerahkan sedikit bekal warisan untuk anak-anaknya itu. Sahabatnya sufi itu menerima wasiat tersebut dengan baik. Akan tetapi setelah harta itu habis, sementara sufi itu sendiri hidup dalam keadaan fakir, maka membuatnya ingin menyerahkan al-Ghazali dan adiknya ke sebuah madrasah di Thus agar mendapatkan pendidikan dan pemeliharaan yang layak.
“Di madrasah ini potensi intelektual dan spiritual al-Ghazali dikembangkan sampai pada akhir hayatnya. Namun dalam perkembangannya, situasi kultural dan structural masyarakat pada masa hidupnya pun ikut mempengaruhi pemikirannya”[6]. Setelah mempelajari dasar-dasar fikih dikampung halamannya, ia merantau ke Jurjan, sebuah kota di Persia yang terletak antara kota Tabristan dan Naisabur. Di Jurjan ia memperluas wawasannya tentang fikih dengan berguru kepada seorang fakih yang bernama Abu al-Qasim Ismaa’il bin Mus’idah al-Isma’ili (Imam Abu Nasr al-Isma’ili). Setelah kembali ke Thus, al-Ghazali berangkat lagi ke Naisabur. Di sana ia belajar kepada Imam Abu al-Ma’ali al-Juwaini dalam ilmu fikih, ilmu debat, mantik, filsafat, dan ilmu kalam. Kemudian berkat ketekunan dan kerajinan yang luar biasa dan kecerdasannya yang tinggi, maka dalam waktu yang tidak lama dia menjadi ulama’ besar dalam mazhab Syafi’iyah dan dalam aliran Asy’ariyah. Dia dikagumi oleh gurunya “al-Juwaini” dan juga oleh para ulama’ pada umumnya.
“ Al-Ghazali kemudian meninggalkan Naisabur setelah imam al- Juwaini meninggal dunia pada tahun 478 H/1085 M. Dari Naisabur, al- Ghazali menuju Baghdad dan menjadi guru besar di Madrasah Nidzamiyah yang didirikan perdana menteri Nidzam al-Mulk”[7]. Keikutsertaan al-Ghazali dalam suatu diskusi bersama sekelompok ulama’ dan para intelektual di hadapan Nidzam al-Mulk membawa kemenangan baginya. Hal itu tidak lain karena ketinggian ilmu filsafatnya, kekayaan ilmu pengetahuannya, kefasihan lidahnya dan kejituan argumentasinya. Nidzam al-Mulk benar-benar kagum melihat kehebatan beliau ini dan berjanji akan mengangkatnya sebagai guru besar di Universitas yang didirikannya di Baghdad. Peristiwa ini terjadi pada tahun 484 atau 1091M.
Di tengah-tengah kesibukannya sebagai pengajar, beliau juga belajar berbagai ilmu pengetahuan dan filsafat klasik seperti filsafat Yunani, sebagaimana beliau juga mempelajari berbagai aliran agama yang beraneka ragam yang terkenal di waktu itu. Beliau mendalami berbagai bidang studi ini dengan harapan agar dapat menolongnya mencapai ilmu pengetahuan sejati yang sangat didambakan.  Setelah empat tahun beliau memutuskan untuk berhenti mengajar di Baghdad. Lalu ditinggalkannya kota tersebut untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu beliau menuju ke Syam, hidup dalam Jami’ Umawy dengan kehidupan serba penuh ibadah, dilanjutkan mengembara ke berbagai padang pasir untuk melatih diri menjauhi barang-barang terlarang (haram), meninggalkan kesejahteraan dan kemewahan hidup, mendalami masalah keruhanian dan penghayatan agama.
Kemudian pada tahun 1105, al-Ghazali kembali pada tugasnya semula mengajar di Madrasah Nidzamiyah, memenuhi panggilan Fahr al-Mulk, putra Nidzam al-Mulk. Akan tetapi tugas mengajar tersebut tidak lama dijalaninya. Ia kembali ke Thus, kota kelahirannya, di sana ia mendirikan sebuah halaqah (sekolah khusus untuk calon sufi) yang diasuhnya sampai ia wafat.
Al-Ghazali wafat pada usia 55 tahun tepat pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H / 19 Desember 1111 M di Thus dengan dihadapi oleh saudara laki-lakinya Abu Hamid Mujiduddin. Jenazahnya dimakamkan disebelah Timur benteng di makam Thaberran, bersisihan dengan makam penyair besar Firdausi. Dia meninggal dunia dengan meninggalkan tiga orang anak perempuan. Sedangkan anak laki-lakinya Hamid sudah terlebih dahulu mendahuluinya. Walaupun ia tidak meninggalkan penerus dari keturunan laki-laki, tetapi karya-karya yang ditinggalkannya juga tidak kalah besarnya.
Dalam sejarah, zaman keemasan dunia pendidikan Islam terjadi dimasa al-Ghazali. Ketika itu masyarakat Islam berada di bawah pemerintahan Bani Saljuk. Tercatat para tokoh muslim terkemuka yang lahir pada masa itu, seperti al-Syahrastani, al-Raghib al-Asfihany, Umar Khayam, Nizham al- Mulk, al-Hariry dan lain-lain.[8]

2.      Konsep Pendidikan Menurut Al-ghazali
Pemikiran pendidikan al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad setidaknya dapat ditinjau dari empat hal. Pertama, tujuan pendidikan. Kedua, subjek pendidikan. Ketiga, materi pendidikan. Keempat, Metode pendidikan.
a. Tujuan Pendidikan
Pendidikan menurut al-Ghazali adalah menghilangkan sifat-sifat atau akhlak yang buruk . Sehingga tujuan pendidikan menurut al- Ghazali adalah menanamkan akhlak yang baik pada anak didik. Al- Ghazali mengibaratkan pendidikan dengan pekerjaan seorang petani yang membuang dan mencabut rumput (tumbuh-tumbuhan lain) yang mengelilingi tanaman supaya bisa tumbuh sempurna dan hasilnya bagus
(maksimal).
 b. Subjek Pendidikan
Subjek pendidikan menurut al-Ghazali tidak bisa dilepaskan dari pola hubungan (relasi) guru dan murid. Karena kedua hal inilah yang akan menentukan berhasil tidaknya tujuan pendidikan. Ibarat pendidikan kalau sarana dan prasarananya jelek akan tetap bias berjalan, namun kalau tidak ada guru pendidikan tidak akan bias berjalan. Oleh karena itu, guru sebagai subjek ajar dalam pendidikan harus mempunyai berbagai persyaratan supaya mempunyai keprofesionalan di bidangnya dan tanggungjawabnya terhadap anak didiknya.
Sedangkan murid yang juga bagian dari subjek dalam pendidikan juga mempunyai peranan yang sangat penting yang menentukan masa depan pendidikan. Disamping murid harus bias bersikap baik kepada gurunya, dia juga mempunyai persyaratan.
1) Guru: Tugas dan Persyaratannya.
Kedudukan guru dalam pandangan al-Ghazali sangat mulia hal ini terlihat dari ungkapannya sebagai berikut:
Barangsiapa mengetahui, mengamalkan dan mengajar, maka dialah yang dinamakan dengan seorang besar di kerajaan langit. Dia adalah seperti matahari yang menerangi kepada selainnya dan ia menerangi pada dirinya. Dan dia adalah seperti minyak kasturi yang mengharumi lainnya sedang ia sendiri harum.[9]

Jadi sangat jelas, bahwa seorang guru mengemban pekerjaan yang sangat penting, karena pendidikan Islam adalah berintikan agama yang mementingkan akhlak, meskipun ia mempunyai bermacam-macam cabang dan tujuan. Oleh karena itu ia member tempat yang luas guna menjelaskan kemuliaan tugas guru, yang mempunyai tugas yang sangat tinggi dalam dunia ini, yaitu memberikan ilmu sebagai makanannya, sebagai kebutuhan manusia
yang tinggi, di samping ia sebagai alat untuk sampai kepada Allah SWT. Oleh karena itu dikatakan pula siapa-siapa yang mempunyai ilmu dan disimpannya, sehingga orang lain tidak dapat mengambil manfaat daripadanya, dan tidak disebarluaskan di kalangan temantemannya, pada hari kiamat nanti ia akan dikekang mulutnya dengan kekangan api neraka.
2) Sikap Murid terhadap Syaiknya
Sedangkan tentang etika murid terhadap guru al-Ghazali merinci dalam kitab Ayyuha al-Walad sebagai berikut:
Artinya: Barangsiapa bernasib baik dan dapat menemukan syaikh sebagaimana yang telah kujelaskan, dan syaikh itu pun bersedia menerimanya sebagai murid, maka hendaknya ia menghormatinya secara lahir dan batin. Penghormatan secara lahiriyah adalah dengan cara tidak mendebatnya; tidak menyibukkannya dengan bantahan-bantahan dalam masalah apa pun meskipun si murid mengetahui kesalahan syaiknya; tidak menggelar sajadah di depannya, kecuali pada waktu shalat dan segera menggulungnya kembali setelah selesai; tidak memperbanyak shalat-shalat sunnah selama kehadirannya; dan selalu melaksanakan perintahnya. Adapun penghormatan secara batiniah, yaitu si murid tidak mengingkari dalam hatinya semua yang telah ia dengar dan sepakati secara lahiriah, baik dengan perbuatan maupun perkataan, sehingga ia tidak dianggap munafik. Apabila ia tidak dapat berbuat demikian, maka hendaknya ia menunda dulu hubungannya dengan syaikhnya sampai keadaan lahiriahnya sesuai dengan batiniahnya. Dan hendanya ia tidak bergaul dengan orang-orang jahat agar hatinya terhindar dari pengaruh setan, baik dari kalangan jin maupun manusia agar ia terbebas dari kejahatan setan. Dan di atas segalanya, hendaknya ia lebih memilih kemiskinan daripada kekayaan[10].


c. Materi Pendidikan
Pendidikan Islam secara fungsional adalah merupakan upaya manusia muslim merekayasa pembentukan insan kamil melalui penciptaan situasi interaksi edukatif yang kondusif. Dalam posisinya demikian, pendidikan Islam adalah model rekayasa individual dan sosial yang paling efektif untuk menyiapkan dan menciptakan bentuk masyarakat ideal ke masa depan. Sejalan dengan perekayasaan masa depan umat, maka pendidikan Islam harus memiliki seperangkat isi atau bahan yang akan ditransformasi kepada peserta didik agar menjadi milik dan kepribadiannya sesuai dengan idealitas Islam.
Maka dari itu, hal inilah yang menjadi perhatian al-Ghazali di dalam merancang pendidikannya dengan memberikan materi ajar kepada peserta didik yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Inilah penjelasan materi pendidikan al-Ghazali dalam kitab Ayyuha al-Walad:
1) Ilmu
Inti ilmu adalah pengetahuan yang membuat seseorang faham akan makna ketaatan dan ibadah. Sebab ketaaan dan ibadah dalam rangka melaksakanakan perintah Allah dan larangannya harus mengikuti syari’ah. Maksudnya, semua yang dikatakan, diperbuat dan ditinggalkan harus berlandaskan syari’ah. Al-Ghazali mencontohkan ketika seseorang berpuasa di hari raya atau hari tasyriq, maka baginya itu adalah maksiat. Atau contoh yang lain, apabila sesorang shalat mengenakan pakaian dari usaha tidak halal, meskipun hal itu tampak seperti ibadah.
Bagi al-Ghazali, perkataan dan perbuatan harus konsisten dan tidak bertentangan dengan syariah, sebab baginya ilmu dan amal tanpa landasan syariah adalah sesat. Sehingga beliau menganjurkan agar seseorang tidak tertipu ucapan-ucapan aneh kaum sufi. Al- Ghazali menganjurkan seseorang agar bermujahadah,[11]

mengalahkan syahwat dan menundukkan hawa nafsu dengan pedang riyadhah, bukan dengan ucapan-ucapan kosong yang tidak bermanfaat. Sebab bagi al-Ghazali, bahwa lidah yang bebas seenaknya berkata-kata dan hati yang tertututp dan dipenuhi dengan kelalaian dan syahwat adalah pertanda kesengsaraan (syaqawah), sehingga apabila seseorang tidak dapat menundukkan nafsunya, maka hatinya tidak akan pernah hidup dengan nur makrifah.
Berkaitan dengan hal di atas, maka ada empat hal yang wajib dilakukan oleh seorang salik: Pertama, berakidah yang benar, tanpa dicampuri bid’ah.53 Kedua, bertaubat dengan tulus, dan tidak mengulang lagi perbuatan hina (dosa) itu. Ketiga, meminta keridhaan dari musuh-musuhmu, sehingga tidak ada lagi hak orang lain yang masih tertinggal padamu. Keempat, mempelajari ilmu syari’ah sekedar yang dibutuhkan untuk melaksanakan perintahperintah Allah. Juga pengetahuan lain yang dengannya seseorang selamat.

B. Biografi dan konsep pendidikan menurut Ibn Khaldun
1.      Biografi Ibn Khaldun

0 komentar: