Rabu, 06 Juli 2011

MAKALAH, UNSUR-UNSUR FILSAFAT YUNANI DALAM PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KLASIK


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Penaklukan daerah-daerah dalam pemerintahan Islam, sejak masa Khulafaur Rasyidin Umar bin Khattab sampai pada masa Daulah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, banyak berpengaruh pada peradaban dan pendidikan Islam. Dan yang paling berharga dari penaklukan Negara-negara tersebut adalah pengetahuan dari filsafat Yunani. Sejak itu dasar-dasar filsafat Yunani ikut memberikan pengaruh pada kemajuan pendidikan Islam.
Pendidikan suatu hal yang sangat penting bagi bangsa (umat) yang ingin maju. Tanpa pendidikan, umat itu akan tertinggal dari bangsa (umat) yang lain. Tarbiyah al-Islam Telah berlangsung sejak masa Nabi Muhammad Saw, sampai sekarang. Namun, pendidikan Islam yang dibahas pada makalah ini adalah sekitar pendidikan Islam masa klasik. Periode klasik menurut Harun Nasution mulai “tahun 650 M-1250 M. Periode klasik ini dibagi pula dalam dua masa, yaitu Masa Kemajuan Islam I (650-1000 M) dan masa disintegrasi (1000-1250 M)” [1]
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan (644 M-656 M), Tripoli dan Ciprus serta beberapa daerah lainnya telah dikuasai oleh Islam. Namun perluasan dan penyebaran wilayah-wilayah Islam terhenti beberapa tahun akibat perang saudara pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Setelah pemerintahan Islam dikuasai oleh Bani Umayyah dan selanjutnya oleh pemerintahan Bani Abbasiyah, perhatian bukan hanya tertuju pada perluasan wilayah Islam, tetapi tertuju pula terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, terutama setelah ada persinggungan kebudayaan dengan peradaban dan filsafat Yunani.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, dapat dikemukakan beberapa rumusan masalah makalah ini agar lebih terarah pada sasaran yang akan dikaji. Adapun rumusan masalah kajian makalah dapat diuraikan sebagai berikut:
o   Hubungan Ilmuwan Muslim Dengan Filsafat Yunani.
o   Dasar-dasar pemikiran filosof yunani.
o   Pengaruh filsafat yunani dalam pendidikan islam pada masa klasik.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hubungan Ilmuwan Muslim Dengan Filsafat Yunani.
Orang Yunani yang hidup pada abad ke-6 SM mempunyai kepercayaan bahwa kebenaran yang diterima semuanya bersumber dari mitos atau dongeng. Ini berarti kebenaran yang dapat diterima akal tidak berlaku. Namun sesudah abad ke-6 SM muncullah sejumlah ahli pikir yang menentang mitos tersebut, sehingga misteri alam semesta jawabannya dapat diterima oleh akal. Hal ini sekaligus merupakan cikal bakal filsafat Yunani.
Ada tiga faktor yang menyebabkan lahirnya filsafat Yunani adalah:
1.      Bangsa Yunani kaya akan mitos dan hal itu adalah awal untuk mengetahui dan mengerti sesuatu.
2.      Beberapa karya sastra Yunani yang dapat dianggap sebagai pendorong lahirnya filsafat Yunani yang berisi pedoman hidup dan nilai-nilai edukatif.
3.      Pengaruh ilmu pengetahuan yang berasal dari Babylonia di lembah sungai Nil. Ilmu-ilmu tersebut bukan hanya dipelajari aspek praktisnya saja, tetapi juga aspek teoritis kreatifnya. [2]

Zaman Yunani  terbagi menjadi dua periode yaitu:    
a.      Yunani kuno dengan ahli pikir alam, seperti Thales, Anaximandros, Pythagoras, Xenopanes dan Demokritos.
b.      Yunani Klasik dengan ahli pikir, seperti Socrates, Plato dan Aristoteles.[3]
Pada waktu Alexander Yang Agung mengalahkan Darius tahun 331 SM di Arbela sebelah Timur Tigris, dia tidak menghangcurkan peradaban dan kebudayaan Persia. Namun, ia berusaha menyatukan kedua kebudayaan tersebut, yaitu Yunani dan Persia. Alexander biasa berpakaian Persia dan malah kawin dengan Statira seorang wanita Persia. Setelah Alexander meninggal, negaranya terbagi menjadi tiga kerajaan, yaitu Macedonia di Eropa, kerajaan Ptolomeus di Mesir dengan ibukota Alexandria dan kerajaan Seleucid di Asia dengan kota-kota penting, seperti Anioch di Syria, Seleucia di Mesopotamia dan Bactra di Persi Sebelah Timur. “Ptolomeus dan Seleucus berysaha meneruskan politik Alexander untuk menyatukan peradaban Yunani dan Persia, tapi tidak berhasil”.[4] Sunguhpun demikian, peradaban Yunani telah meninggalkan bekas pada ke dua wilayah tersebut. Sehingga ketika wilayah-wilayah itu dikuasai oleh Islam bahasa administrasi yang digunakan di kantor adalah bahasa Yunani.
Filsafat Yunani ditemukan oleh umat Islam dalam samaran bahasa Syria yang merupakan campuran antara pikiran Plato dan Aristoteles, sebagaimana yang ditafsirkan dan diolah oleh para filosof selama berabad-abad sepanjang masa Hellenisme.[5]

Pemikiran Yunani yang masuk ke Dunia  Islam tidak datang dari manuskrip-manuskrip yang asli. Vitalitas ilmuwan dan filosof Yunani telah berakhir dengan mundurnya Museum Alexandria. Jembatan yang menghubungkan antara pengetahuan Hellenisme dengan budaya Islam adalah penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Syria yang merupakan bahasa intelektual Timur Tengah. “Bahasa Syria dimengerti oleh ilmuwan Persia, Yunani, Yahudi, dan Kristen yang sedang mencari kebebasan beragama dan stimulant intelektual di Persia selama dua abad”[6], sampai kerajaan Sasaniyah ditaklukkan oleh bangsa Arab.
Pertemuan pertama budaya Arab dengan Yunani terjadi pada saat penaklukan Damaskus yang dijadikan sebagai ibukota provinsi Syria dan selanjutnya menjadi ibukota Daulah Bani Umayyah. Pada abad ke-7 M, yaitu pada masa pemerintahan Bani Umayyah Abdul Malik Bin Marwan (685-705 M), administrasi yang berbahasa Yunani diganti dengan bahasa Arab. Alexandria, Antioch, Bactra dan Jundishapur menjadi pusat ilmu pengetahuan dan falsafah Yunani. Walaupun filsafat dan teori Hellenistik telah bersentuhan pada masa ini, Khalifah Bani Umayyah tidak banyak tertarik dengan kajian filsafat dan teologi. Mereka lebih banyak tertarik pada perluasan kekuasaan kerajaan.
Lain halnya pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu ketika Khalifah Al-Manshur (754-775 M) dan Kalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) memerintah, penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab telah dimulai dan mencapai puncaknya pada masa Khalifah Al-Ma’mun (813-833 M) dengan mendirikan pusat penerjemahan dan Bayt al-Hikmah.[7] Pada akhir abad kesembilan, hampir seluruh karya yang diketahui dari museum Hellenistik telah diterjemahkan dan tersedia bagi ilmuan Muslim. Hunayn bertugas menerjemahkan manuskrip Yunani ke dalam bahasa Syria kemudian anaknya dan teman-temannya menerjemahkan dari bahasa Syria ke bahasa Arab.
Hunayn menerjemahkan hampir semua karya Galen sekitar 20.000 halaman di antara karya Aristoteles, ia menerjemahkan Categories, Physics, Magna Moralia dan Hermeneutics. Karya-karya Plato, seperti The Republic, Timaeus dan The Laws. Karya Hippokrates, seperti Aphorisme sedang karya Dioscorides adalah Materia Medica. Demikianlah dengan banyaknya buku-buku filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh ilmuan Muslim, maka filsafat Yunani pun banyak dikaji dan dipelajari, baik melalui lembaga pendidikan yang didirikan atau melalui diskusi para ilmuwan Muslim.
B. Dasar-dasar pemikiran filosof yunani.
Filosof Yunani yang akan dikemukakan disini adalah:           
  1. Sorates.
Cara berfilsafat Socrates dikenal dengan istilah dialektika yaitu “cara berfilsafat dengan Tanya jawab”.[8] Socrates tidak bermaksud memaksakan orang lain menerima suatu ajaran. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ia berusaha agar teman bicaranya memperoleh keinsyafan yang lebih mendalam mengenai sesuatu masalah yang sedang dihadapi, yang pada umumnya bertalian dengan perilaku manusia dan orang ditanyapun menyadari bahwa melalui pertanyaan Socrates ia telah memperoleh penglihatan-dalamnya. Socrates yakin bahwa “hanya dengan cara demikian penglihatan-dalam dapat menjadi milik rohani seseorang, terutama bila penglihatan-dalam itu menyangkut bidang kesusilaan yang sangat berarti bagi kehidupan manusia”[9]. Socrates menggunakan metode tanya jawab dalam mengajar atau dalam mengajak orang lain untuk memahami apa yang ada pada dirinya. Metode Tanya jawab adalah metode yang banyak digunakan dalam mengajarkan agama Islam. Pada masa Nabi Muhammad Saw , metode ini telah dicontohkan oleh Malikat Jibril sewaktu datang bertanya kepada nabi untuk mengajar umat Islam.
2.      Plato.
Palto senantiasa mengajarkan agar orang berpangkal pada sesuatu yang terdapat  di atas kenyataan duniawi, tapi sekaligus berpegang erat pada kenyataan duniawi. Keadaan ini harus senantiasa ditinjau dari segi idea-idea. Menurut ajaran Plato “dalam dunia ini kita hanya menangkap hal-hal yang berubah-ubah dan fana”[10]. Yang selalu berubah-ubah kita ketahui dengan tangkapan inderawi, sedang yang tetap-tidak berubah-ubah-kita ketahui dengan berpikir. Jiwa menurut Plato adalah “sesuatu yang bersifat immaterial dan terpisah dari badan”[11]. Hal ini diberikan dengan kekuatan untuk mengetahui kebenaran yang terakhir. Sedangkan badan membutuhkan jiwa yang kepadanya ia mengabdi dan mendengarkan perintahnya. Menurut plato:
Seseorang yang memiliki sifat-sifat kesalihan di dunia ini setelah mati akan dikirim ke suatu pulau yang penuh kebahagian dan jiwa yang jahat akan dikirim ke suatu tempat yang kotor dan penuh penderitaan sebagai hukuman.[12]
Plato menegaskan bahwa “manusia begitu terikatnya pada dunia tangkapan inderawi, sehingga sukar baginya mendaki ke dalam dunia ide”[13]. Untuk dapat naik memasuki alam ide tersebut diperlukan pengetahuan tenaga kejiwaan yang besar, yang mengharuskan meninggalkan segenap kegiatan hidupnya. Namun hanya sedikit orang yang dapat mengahsilkan tenaga yang diperlukan itu, terlebih lagi karena manusia memandang pemikir itu sebagai manusia khas yang asing bagi dunia. Karya Plato yang berjudul Negara dan Hukum memperlihatkan bahwa Plato tidak mengajarkan manusia melarikan diri dari kenyataan duniawi. Dalam ajaran Islam diyakini ada jiwa yang tenang (annafsu al-muthmainnah) yang akan berbeda dalam keridhaan Tuhan di surga, sedang jiwa yang kotor atau berdosa berada dalam neraka.
  1. Aristoteles.
Bila Socrates lekat dengan filsafat dialetikanya, “Plato dengan filsafat idealismenya, Aristoteles populer dengan filsafat logikanya. Logikaformal adalah hasil ciptaan Aristoteles” [14] inti ajarannya adalah mengenai penalaran dan pembuktian. Di Athena Aristoteles pernah mendirikan sekolah yang disebut sekolah peripatetic, yaitu dengan cara memberikan pelajaran sambil berjalan-jalan.
  1. Neoplatonisme (Plotinus).
Bagi plotinus yang dipandang bernilai hanyalah penghayatan secara batianiah mengenai persatuan dengan Tuhan. Untuk itu, dunia lahiriah merupakan sarana dan sekaligus bahaya yang mengancam. Gagasan mengenai Tuhan merupakan inti pemikiran Plotinus. “Tuhan adalah kebaikan dan merupakan tujuan segala upaya”[15]. Yang Esa, hanyalah kata-kata yang mengacu kepada hakikat Tuhan, karena keadaaan diri-Nya tidak dapat disebut dengan kata-kata. Jiwa merupakan perlimpahan dari Tuhan, tapi jiwa itu tidak lagi esa. Jiwa itu selalu berusaha akan kembali kepada Tuhan. Karena segala sesuatu adalah merupakan perlimpahan dari Tuhan, tugas manusia mengembalikan segala sesuatu kepada Tuhan. Secara batiniah diri manusia seperti terbelah, di satu pihak ia tertarik kepada benda jasmani, tapi di lain pihak ia tertarik oleh jiwa. Manusia dapat tenggelam dalam alam jasmani dan lebur di dalamnya karena melupakan hakikat dirinya.
Namun ia dapat juga dengan jalan menatap keindahan yang terdapat pada tatanan dunia jasmani dapat mencuat ke atas sehingga mampu menatap ide-ide, yang merupakan gambaran asli keindahan tersebut[16].
Ketenteraman hanya dapat dicapai dengan mengatasi segala pemikiran, dapat diperoleh dengan jalan memurnikan segala sesuatu yang bersifat duniawi serta segenap keanekaragamannya. Keadaan ini disebut oleh Plotinus sebagai ecstasy atau perasaan menyatu dengan Tuhan
Unsur-unsur filsafat dari para filosof Yunani ini, mempengaruhi sains dan filosof Muslim seperti, Jabir ibn Hayyan, bapak ilmu kimia dan pendiri laboratorium pertama. Al Khwarizmi, matematikawan ulung pertama. Al Kindi, filosof penggerak dan pengembang ilmu pengetahuan yang sangat mengandalkan akal untuk sumber kebenaran tetapi tetap berkeyakinan bahwa wahyu juga membimbing manusia. Al-Farabi, komentator buku-buku filsafat Yunani, juga termasuk filosof yang kadang memberikan interpretasi tentang kebenaran ajaran agama dengan filsafat. Ibnu Sina sebagai bapak kedokteran. Ibn Miskawaih dengan teori pendidikan etika. Al-Ghazali, dengan pendidikan tasawufnya. Umar Khayyam, ahli aljabar. Ibn Rusyd, terkenal pula sebagai bapak kedokteran umum, dan sebagainya.


C. Pengaruh filsafat yunani dalam pendidikan islam pada masa klasik.

  1. Pengaruh Filsafat Yunani terhadap Ilmu-ilmu Agama.
Upaya untuk menggabungkan pemikiran Islam dengan pemikiran Yunani mendominasi kehidupan intelektual sepanjang kekhalifahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Ilmuan yang berhubungan dengan Kristen Nestoris yang berasal dari Hira (sebuah kota kecil antara Basrah, Kufah dan Mesopotamia Selatan). Kontroversi terjadi setelah diperkenalkan karya-karya sains dan filsafat Yunani pada pertengahan abad kedelapan. Sehingga muncullah gerakan-gerakan dan kelompok yang disebut dengan Qadariyah. Dengan menggunakan metode rasional Yunani, “Ilmuwan Hira berusaha menggabungkan akal dan wahyu. Khalifah Bani Umayyah, Muawiyah II (683-684 M) dan Yazid III (744 M) adalah pengikut aliran Qadariyah”[17].
Ditempat lain, di seluruh Mesopotamia Selatan timbul pula satu pikiran yang dipengaruhi oleh Kristen Nestoris di Basrah dengan menerima kemauan bebas. Mereka meyakini bahwa individu dapat mengendalikan tingkah lakunya. Cara mengetahui tingkah laku yang benar dapat dilakukan dengan pendekatan spekulatif terhadap logika. Kelompok ini kemudian dikenal dengan nama Mu’tazilah. Khalifah Al Ma’mun dari Bani Abbasiyah menganut aliran ini.
Lembaga pendidikan tinggi dengan aneka ragam bentuknya muncul tidak untuk menyediakan kelanjutn bidang-bidang studi tingkat permulan, melainkan untuk memenuhi dua kebutuhan penting dalam masyarakat yaitu:
Pertama: menjelaskan pengertian Alquran dan untuk menyesuaikan prinsip-prinsipnya bagi lingkungan yang berubah. Khusus untuk keimanan bagi pemeluk Islam yang baru, membutuhkan bimbingan sesuai dengan wahyu Tuhan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw.
Kedua: Untuk memadukan wahyu dengan pengalaman intelektual dan keilmuan.
Untuk memenuhi kebutuhan pertama, lembaga-lembaga pendidikan formal didirikan dengan memusatkan kegiatannya pada studi-studi keagamaan dan penafsiran hukum. Studi-studi keagamaan bertempat di lingkaran-lingkaran studi di masjid, akademi dan madrasah.
Pembaharuan dalam kajian-kajian keagamaan berakhir ketika studi filsafat Yunani terputus dan diganti dengan skolastisisme Islam. “Al-Ghazali memenangkan penggunaan dialetika dan logika yang terbatas, karena khawatir penggunaannya pada segala bidang pemikiran keilmuan secara sembarangan akan melenyapkan keimanan”[18].

  1. Pengaruh Filsafat Yunani terhadap Ilmu-Ilmu non-Agama.
Ketika kerajaan sasaniyah ditaklukkan, Islam mengenal ilmu kedokteran Yunani di pusat-pusat pendidikan Nestoris dan Neoplatonisme di Mesopotamia Utara. Kota Jundishapur sangat berperan dalam kajian ilmu dan praktek kedokteran ini. Sehingga dasar-dasar pengobatan Timur dan Mesir, terutama sihir dan pengobatan rakyat lainnya, berangsur hilang dengan kehadiran keterampilan pengobatan yang dimiliki ilmuan Alexandria, Athena, dan Persia selama abad kelima dan keenam. “Kedokteran Yunani sebagai  satu sistem teori dan praktek berasal dari Hippocrates (460-377 SM). Kedokteran Yunani ini menggunakan pendekatan rasional terhadap penyembuhan melalui observasi dan pengalaman”[19]. Diterangkan Ibnu Sina adalah “seorang filosof atau pemikir Islam yang telah hafal Alquran pada usia 10 tahun” [20]. Ia menguasai logika, kemudian ia beralih pada studi fisika, metafisika, dan kedokteran pada usia 18 tahun.
Asy-Syifa’ adalah hasil karyanya yang merupakan ensiklopedi terpanjang yang pernah ditulis oleh satu orang yang menggambarkan kemajuan filsafat peripatetic Islam atau buku filsafat yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina yang berisi fisika, logika dan matematika. Demikian pula alQanun fii al Tibb sebuah ensiklopedi kedokteran[21].
Setelah Ibnu Sina, Al-Razi adalah orang kedua dalam tulisan dan pengetahuannya dalam masalah medis. Matematika juga memiliki daya tarik tersendiri bagi ilmuan Muslim karena perwakilan simboliknya tentang alam. Mereka memandangnya sebagai pensekatan transendensi dari dunia fisik menuju dunia supernatural. Pada dasar-dasar teori matematika terletak konsep kesatuan (alam), yang merupakan tema utama dalam Islam. Matematika menunjukkan alam dan bagian-bagiannya secara simbolik. “Ahli matematika Islam menggunakan teori geometri yang diwarisi dari bangsa Yunani dengan membuat pengembangan yang melebihi teori Yunani”[22]. Tabel-tabel geometri dalam dunia seni dan arsitektur adalah hasil kretaif ilmuan Muslim karena dalam Islam dilarang membuat figur-figur manusia.
Para ilmuwan Muslim menyempurnakan aljabar dalam menyelesaikan masalah perdagangan, pembagian warisan, dan sebagainya.
Penguasaan ilmuwan Muslim terhadap aljabar ini mencapai puncaknya pada abad ke-11 oleh Umar Khayyam 1123 M, yang menyajikan pembahasan lebih maju mengenai subjek itu disbanding dengan pembahasan Al-Khawarazmi[23].

Sebelumnya telah dikenal pula Jabir Ibn Hayyan (hidup 721-815 M), bapak ilmu kimia dan pendiri laboratorium pertama yang dikenal oleh bangsa Latin sebagai Geber. Atas dukungan pemerintah Khalifah HArun Al-RAsyid “dia telah menulis 3000 karangan kebanyakan tentang kimia, juga logika, filsafat, kedokteran, ilmu-ilmu supernatural, fisika, mekanik, dan bidang-bidang lain yang kemudian menjadi disiplin ilmu yang terkenal”[24]. Musa Al-Khawarizmi mengadakan perjalanan ke Timur untuk belajr matematika, dalam perjalanannya kembali ke istana Al-Makmun dia mensintetiskan matematika yang diketahuinya dan menyajikannya dalam satu seri berjudul al-jabr wa al-muqabalah disingkat dengan al-jabr.
Astronomi adalah ilmu yang banyak dibutuhkan oleh umat Islam. Melalui konsep-konsep ilmu astronomi ini ilmuan Muslim mampu mengatur aspek-aspek keimanan mereka, dengan mengadakan pengamatan terhadap benda-benda langit. DAlam filsafat Yunani benda-benda langit dipandang sebagai abstraksi dan dilihat hanya melalui bentuk-bentuk matematis. Astronom Islam berpendapat bahwa benda-benda angkasa (planet-planet) memiliki sifat-sifat fisik dan susunan materi dan mempunyai gerakan-gerakan yang teratur.
Ilmu astronomi membantu umat Islam dalam melaksanakan perintah shalat lima waktu dalam sehari, pelaksanaan ibadah haji pada bulan tertentu, puasa ramadhan, shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Ilmuwan Muslim tetap memilih menggunakan kalender qamariyah, karena dianggap lebih tepat untuk praktik-praktik ritual keagamaan pada garis lintang yang berbeda-beda. Dengan menggunakan kalender qamariyah umat Islam tidak diuntungkan dan tidak dirugikan terutama pada praktik keagamaan yang panjang waktunya, seperti puasa Ramadhan.
















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.

Filsafat Yunani adalah kegiatan berpikir yang dilakuan oleh para filosof Yunani untuk mencari kebenaran tentang sesuatu, baik yang bersifat abstrak maupun yang kongkret.
Filsafat Yunani mulai berpengaruh di kalangan ilmuwan Muslim pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan mencapai puncaknya pada masa Bani Abbasiyah ketika karya-karya filosof Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Syria oleh Hunayn, dan anaknya menerjemahkan dari bahasa Syria ke bahasa Arab.
Al-Ma’mun adalah khalifah yang banyak jasanya dalam penerjemahan ini dengan tidak segan membayar biaya penerjemahan berupa emas seberat yang diterjemahkan. Karya-karya Yunani yang dibaca oleh ilmuwan Muslim ini memberikan motivasi untuk menggunakan logika dalam membahas ajaran Islam dan mengembangkan serta menemukan berbagai macam ilmu pengetahuan yang baru.
Unsur dialetika dari Socrates, idealisme Plato dan logika Aristoteles dan sebagainya termasuk berpengaruh terhadap lahirnya beberapa aliran dalam Islam, seperti Qadariyah, Asy’ariyah, dan Mu’tazilah. Metode berpikir yang digunakan oleh filosof Yunani memberikan motivasi bagi ilmuwan Muslim untuk lebih banyak berkarya dalam kemajuan pendidikan Islam, sehingga muncul ilmuwan seperti Jabir Ibn Hayyan, Al-Kindi, Al-Razi, Al-Khawarazmi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Umar Khayyam, Ibnu Rusyd, dan sebagainya.















DAFTAR PUSTAKA
Asmoro Achmadi, Filasafat Umum, P.T RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997.

Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta, th.

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai aspeknya, jil. I, UI Press, Jakarta, 1985.

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, Th.

Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996.

Nasr, Science and Civilization in Islam, New American Library, New York, hal. 31-36, lihat juga C. M. Stanton, 1968.

Pringgodigdo dkk., Eksiklopedi Umum , Kanisius, Jakarta,1977.

Tahun kelahiran Ibnu Sina banyak versi, tapi pemerintah Iran menetapkan bulan Safar 370 H. (Agustus 910 M).

Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan, terj. Abuddin Nata, Montreal-Canada, 2000.








[1] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai aspeknya, jil. I, UI Press, Jakarta, 1985.
[2] Asmoro Achmadi, Filasafat Umum, P.T RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hal.29-30.

[3] Ibid, hal. 30.

[4] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 10.

[5] F.E.”The Origins of Islamic Paltonism: The School Tradition,” dalam Islamic Philosophical Theology (Albany: SUNNY Press), hal. 14-17, lihat juga Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj., Logos, Jakarta, 1994, hal. 67.

[6] Ibid, hal. 78.

[7] Ibid, hal.95.

[8] Pringgodigdo dkk., Eksiklopedi Umum , Kanisius, Jakarta,1977, hal. 270.

[9] Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta, hal. 16.

[10] Ibid, hal. 21.

[11] Ibid, hal. 22.

[12] Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan, terj. Abuddin Nata, Montreal-Canada, 2000, hal. 30.

[13] Idealisme, pada umumnya sikap yang menaruh nilai tinggi pada angan-angan (ideas) dan cita-cita (ideals) sebagai hasil perasaan. Plato menciptakan, dunia dimana angan-angan kekal mewujudkan kenyataan dan dunia pengalaman biasa menjadi baying-bayangnya. Ensiklopedi Umum, op.cit., hal. 439.
[14] Cabang ilmu filsafat yang menentukan penghargaan atau penelitian tentang suatu cara berpikir atau cara mengemukakan alasan-alasan, jika fakta-fakta yang digunakan dalam cara berpikir itu sebelumnya sudah dinyatakan benar. Logika memperlihatkan kebenaran sesuatu cara berpikir dan kurang atau tidak memperdulikan kondisi psikologis yang mungkin menjadi sebab cara berpikir itu. Logika bukanlah suatu ilmu yang empiris, tetapi ilmu yang bersifat normatif. Ibif, hal. 638.

[15] Bernard Delfgaauw, op.cit., hal. 46.


[16] Ibid, hal. 47.

[17] Lihat Charles Michael Stanton, Hal. 92-93.

[18] Ibid, hal. 230.

[19] Ibid, hal. 72.

[20] Tahun kelahiran Ibnu Sina banyak versi, tapi pemerintah Iran menetapkan bulan Safar 370 H. (Agustus 910 M).

[21] Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 136.

[22] Charles Michael Stanton, op.cit., hal. 141.

[23] Ibid, hal. 142.

[24] Nasr, Science and Civilization in Islam, New American Library, New York, 1968, hal. 31-36, lihat juga C. M. Stanton, hal. 132.

0 komentar: